Perkembangan musik Islam mencapai puncaknya di masa Dinasti Abbasiyah.
Pada zaman sekarang, tempat mana yang bebas dari dendang musik? Musik Barat mewabah di setiap penjuru negeri. Bahkan, kini musik pop Asia pun menghipnotis para pemuda. Bagaimana dengan musik religi Islam?
Pada zaman sekarang, tempat mana yang bebas dari dendang musik? Musik Barat mewabah di setiap penjuru negeri. Bahkan, kini musik pop Asia pun menghipnotis para pemuda. Bagaimana dengan musik religi Islam?
Menilik sejarahnya, seni musik Islam
sangat dipengaruhi musik Arab yang telah ada sebelum era Rasulullah SAW.
Dalam bahasa Arab, musik berasal dari kata “ma’azif” dari akar kata
“azafa” yang artinya berpaling.
Ma’azif merupakan kata plural dari mi’zaf, yakni sejenis alat musik pukul yang terbuat dari kayu dan dimainkan oleh masyarakat Yaman dan sekitarnya.
Dalam perkembangannya, mi’zaf bermakna alat musik, tanpa perincian jenis tertentu. Karena itu, masyarakat Arab biasa memaknai ma’azif dengan alat-alat musik atau sesuatu yang melalaikan.
Dari makna itulah kemudian dipahami
mengapa musik sangat terbatas di masa awal Islam. Sebab, segala hal yang
melalaikan tak disukai Rasulullah dan para sahabat. Meski demikian,
bukan berarti musik sama sekali tak didendangkan pada era tersebut.
Apalagi bangsa Arab memiliki kebiasaan
dan kemampuan sastra yang mendarah daging. Sebelum Islam datang, orang
Arab biasa melantunkan lagu bertemakan kemenangan, peperangan,
percintaan, dan keagamaan.
Menurut Philip K Hitti dalam History of The Arabs,
lantunan himne keagamaan primitif telah memberikan pengaruh saat Islam
datang. Hal ini nampak dalam talbiyah ritual haji, yakni ucapan
“labbaika” para jamaah haji. Selain itu, tampak juga dalam lantunan
tajwid saat membaca Alquran.
Dalam hal alat musik, kata Hitti, masyarakat Arab pra-Islam di Hijaz telah menggunakan duff, yakni tambur segi empat; qashabah atau seruling; zamr, yakni suling rumput; serta mizhar atau gambus yang terbuat dari kulit.
Para penyair menggubah syair mereka ke
dalam sebuah lagu. Ketika Rasulullah diutus mendakwahkan Islam, sebagian
besar musisi justru menyeru pada berhala. Bahkan, ada seorang seniman
yang ingin menandingi wahyu Allah yang disampaikan Rasulullah.
“Kecaman Muhammad terhdap para penyair
muncul bukan karena mereka penyair, tapi karena mereka menjadi corong
para penyembah berhala. Nabi mendiskreditkan musik, juga karena musik
diasosiasikan dengan ritual ibadah kaum pagan,” kata sejarawan ternama
itu.
Dalam beberapa hadis, Rasulullah hanya
memperbolehkan musik didendangkan pada dua momen saja, yakni pernikahan
dan hari raya. Saat Aisyah binti Abu Bakar menikahkah seorang wanita
dengan laki-laki Ansar, Rasulullah bersabda, “Wahai Aisyah, tidak adakah
kalian mempunyai hiburan (nyanyian). Sesungguhnya orang-orang Anshar
menyukai hiburan (nyanyian).” (HR Bukhari dan Muslim).
Hal serupa juga terjadi saat hari raya.
Berdasarkan Hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Aisyah mendengarkan
permainan rebana (duff) anak perempuan kecil saat Idul Adha. Melihat hal
itu, Rasulullah membiarkannya karena saat itu hari raya.
Selain pada dua momen itu, Rasulullah
diriwayatkan sangat mencegah musik dimainkan. Hal itu karena bangsa Arab
menggunakannya sebagai ajakan untuk melakukan ritual berhala.
Pada awal perkembangannya, jenis musik dalam Islam bisa dibedakan menurut alat musik yang digunakan.
Kala itu, musik Islam hanya mengenal alat
sederhana seperti rebana, rebab, seruling dan beduk. Nah, jenis musik
yang berkembang pada masa ini adalah kasidah. Karena itu, kasidah bisa
disebut sebagai salah satu jenis musik tertua dalam Islam.
Selain itu, ada gazal yang biasanya dimainkan hanya dengan menggunakan qanun dan rebab. Tema gazal adalah cinta dan kerinduan.
Di kawasan Hijaz, berkembang luas musik
qabus atau qanbus. Di Indonesia, musik yang melibatkan banyak alat ini
dikenal dengan sebutan gambus.
Di awal perkembangan musik Islam, dikenal
pula nasyid, yakni jenis musik yang lebih menonjolkan lirik daripada
musik. Lawannya adalah naubah, yang lebih menonjolkan unsur instrumen
daripada lirik.

Pasca Rasulullah
Berkembangnya zaman, berkembang pula pemikiran manusia. Masyarakat Arab mulai menggunakan musik dalam norma estetika. Generasi biduan Islam pertama pun muncul di sekitar abad ketujuh Hijriah. Adalah Tuways, biduanita asal Madinah yang kemudian memiliki banyak murid dan mengenalkan ritme dalam musik Arab.
Berkembangnya zaman, berkembang pula pemikiran manusia. Masyarakat Arab mulai menggunakan musik dalam norma estetika. Generasi biduan Islam pertama pun muncul di sekitar abad ketujuh Hijriah. Adalah Tuways, biduanita asal Madinah yang kemudian memiliki banyak murid dan mengenalkan ritme dalam musik Arab.
Kemudian, masuklah pengaruh musik Persia.
Di era Dinasti Umayyah, mulai berkembang pesatlah musik di tanah Arab.
Bahkan salah seorang Khalifah Umayyah, Yazid I dikenal sebagai penulis
lagu.
Seorang musisi asal Makkah, Said ibn
Misjah pun muncul sebagai orang pertama yang menerjemahkan lagu
Bizantium (Romawi Timur) dan Persia ke dalam bahasa Arab.
Perkembangan seni musik Islam mencapai
puncaknya di era Dinasti Abbasiyah. Saat itu, Baghdad sebagai pusat
pemerintahan Kekhalifahan Abbasiyah, menjadi pusat budaya dan peradaban
Islam.
Kota ini melahirkan banyak musisi dan
ahli musik. Puluhan judul buku tentang musik pun diterbitkan. Pada masa
kepemimpinan Khalifah Harun ar-Rasyid, para musisi disantuni dan hidup
sejahtera.
Salah seorang musisi itu adalah Ibrahim
al-Maushuli. Dialah orang pertama yang mengenalkan aturan tempo dan
ritme dalam lagu. Ada pula musisi lain, yakni Ibn Jami yang sangat
piawai mengolah nada.
Perhatian yang besar dari pemerintah
menjadi cambuk semangat bagi para musisi. Tak heran, pada masa itu
lahirlah banyak karya seniman. Salah satu yang amat terkenal, yakni Kitab al-Aghani (Buku Nyanyian) karya Yahya al-Makki. Terbit pula Kitab al-Musiq al-Kabir (Buku Besar Musik) karya al-Farabi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar